PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, yang berarti bahwa setiap
manusia berhak mendapat dan berharap dapat berkembang dalam pendidikan secara
nyaman. Bagaimanapun pendidikan dapat mencetak generasi emas yang diharapkan
menjadi tombak peradaban dan obor pencerahan bagi bangsa dan negaranya. Negara
yang maju adalah negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Untuk mewujudkannya maka setiap warga negaranya perlu diberikan pendidikan yang
memadai.
Menurut Undang-Undang No 20
Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Keberhasilan
pendidikan, khususnya di sekolah
tidak hanya ditentukan oleh kemahiran guru dalam mengajar. Namun lebih kepada
bagaimana guru
mendidik para siswanya. Guru yang baik adalah seseorang yang bisa mengajar
sekaligus bisa mendidik para siswanya. Dengan kemampuannya untuk mengajar dan
mendidik secara baik, akan dihasilkan anak-anak yang tidak hanya pandai secara
intelektual, namun juga secara akhlak atau
budi pekerti dan keimanan. Pada akhirnya akan
menghasilkan generasi penerus yang arif dan bijaksana. Namun pada
kenyataannya, banyak kasus yang mempersoalkan tentang tugas guru mendidik dan
mengarahkan siswa.
Beberapa waktu yang lalu, kita masih teringat kasus
seorang guru yang berhadapan dengan hukum akibat mencubit siswanya. Hakim
menetapkan sang guru bersalah dan menjatuhkan vonis denda Rp
20 juta dengan subsider hukuman 1 bulan penjara. Lalu terdapat
pula kasus penamparan oleh oknum guru terhadap
siswi SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka
lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke sekolah. Orang tua
melaporkan kasus itu ke polisi. Kasus
yang hampir sama juga terjadi di SMK Gajah Mungkur 1, oknum guru dilaporkan karena dugaan penganiayaan
salah satu muridnya. Murid tersebut mengaku ditampar satu
kali oleh gurunya itu sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya. Alasan pemukulan itu, karena korban melanggar
disiplin saat upacara bendera.
Kasus lain seperti yang
dilansir Antara News, memberitakan seorang guru AG, guru SMPN di Kota Jambi, terdakwa kasus penamparan siswanya, MT yang tertangkap menonton film porno
di telepon genggamnya saat jam pelajaran, oleh orangtua siswa, AG dilaporkan ke
kantor polisi dan dituntut hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan
enam bulan. Dari
beberapa contoh kasus hukum yang terjadi di ranah pendidikan Indonesia yang berhubungan
dengan tingkah laku guru dalam menerapkan displin kepada siswa, kebanyakan diakhiri
dengan penetapan guru sebagai tersangka yang bersalah dan dijatuhi hukuman penjara
dan denda. Guru dianggap bersalah karena telah melakukan kekerasan terhadap
anak.
Fenomena ini menjadi seperti gunung
es yang kian hari kian mengkhawatirkan. Guru menjadi dilema dalam hal menetapkan hukuman yang
akan diberikan kepada siswa yang melanggar. Guru tidak berani bertindak
tegas kepada siswa. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tidak berani menegur,
sehingga terjadi pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat
mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Komisi
perlindungan guru tidak bisa berbuat banyak untuk memberikan payung hukum
kepada guru, padahal kebebasan
guru memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar norma dan aturan
sudah diatur dan tertera dalam UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 39 tentang Penilaian,
Penghargaan dan Sanksi oleh Guru kepada Peserta Didik. Jadi tidak mungkin guru
menghukum tanpa alasan dan sebab yang jelas, dan tidak mungkin guru menghukum
siswa yang baik dan yang menaati aturan. Perlu
adanya kejelasan persepsi tentang pemberian hukuman (punishment) dalam pendidikan yang diberikan oleh guru kepada siswa
dengan tindakan kekerasan yang dijadikan landasan para orang tua untuk menjerat
guru, sehingga tidak memberatkan kedua belah pihak, baik itu guru dan pihak
sekolah dengan siswa dan orang tua. Oleh karena itu penulis berminat menulis
makalah dengan judul “Polemik Hukuman
(Punishment) Siswa”. Pada
makalah ini penulis hanya meninjau dari segi landasan hukum.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa
dasar
hukum pemberian hukuman (punishment) dalam pendidikan?
2. Bagaimana
perlindungan
hukum untuk guru yang terkait kasus tindakan pemberian hukuman (punishment)
kepada siswa?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
menelusuri mengenai apa dasar hukum pemberian hukuman (punishment) dalam pendidikan
dan bagaimana
perlindungan
hukum untuk guru terkait kasus tindakan pemberian hukuman (punishment) yang dikaitkan
dengan UU Perlindungan Anak.
D. Manfaat
Mafaat yang diharapkan dari makalah ini:
1. Guru, sebagai rambu-rambu dalam memberikan hukuman (punishment)
kepada siswa yang melanggar.
2. Orang tua, sebagai saran tindakan yang sebaiknya dilakukan
untuk pengaduan yang melibatkan guru dan anak sebagai siswa.
3. Pemerintah, untuk lebih memperjelas persepsi hukuman (punishment)
dengan tindak kekerasan, dan lebih memperhatikan perlindungan hukum bagi guru
yang terkait kasus hukum.
PEMBAHASAN
A. Dasar
Hukum Pemberian Hukuman (Punishment)
Dalam Pendidikan
Dalam
UU No.
14 Tahun 2005 tentang guru
dan dosen, dijelaskan tentang kedudukan, tugas dan hak guru. Pasal 1
mendefinisikan guru sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik.
Kegiatan
mendidik lebih condong kepada proses bagaimana mengarahkan dan menyadarkan peserta didik agar dapat mengubah dirinya
menjadi manusia seutuhnya, baik secara intelektual, spiritual, moral dan
sosial. Jadi anak didik tahu bagaimana menggunakan ilmu untuk berinteraksi
dengan masyarakat yang memiliki norma dan tatanan. Siswa harus tahu fungsi dan
perannya terhadap orang tua,
guru, keluarga, dan lingkungan masyarakat.
Proses penyadaran
tersebut tidak bisa dilakukan
melalui pengajaran saja, tetapi lewat pendidikan di mana prinsip keteladanan
dari sang guru diberlakukan. Tanpa sebuah keteladanan (melalui kata maupun
tindakan) yang baik, seorang siswa yang nakal akan tetap menjadi nakal, bahkan
mungkin akan semakin nakal.
Keteladanan kata yang dimaksud disini bisa berupa teguran secara lisan yang
ditujukan kepada siswa yang melakukan pelanggaran. Sedangkan keteladanan
tindakan bisa diartikan guru memberikan sanksi atau hukuman yang bertujuan
untuk mendidik agar siswa tersebut mendapat efek jera dan berusaha untuk tidak
melakukannya lagi. Efek jera yang diberikan guru kepada siswa, tidak lain untuk
mendisplinkan siswa tersebut.
Dalam PP No. 74 Tahun 2008
pasal 39 ayat 1 dijelaskan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi
(hukuman) kepada siswa yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Pemberian sanksi (hukuman)
bisa berupa teguran, peringatan dan/atau hukuman (punishment) lain yang bersifat mendidik dimana bertujuan seperti
yang dijelaskan sebelumnya yaitu untuk memberikan penyadaran dan efek jera kepada
siswa. Dengan kata lain, hukuman (punishment)
yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar, tidak serta merta termasuk
dalam tindakan kekerasan, karena hukuman (punishment)
yang diberikan guru bisa bermacam-macam jenis, selain itu, perlu dipahami bahwa
hukuman (punishment) yang diberikan
memiliki tujuan lain yang tersembunyi yaitu untuk mendidik tingkah laku siswa
agar menjadi manusia yang memiliki akhlak dan budi pekerti baik.
Dalam
perkembangan pendidikan dewasa ini, sering kali dijumpai kasus yang melibatkan
guru dengan siswa ataupun walisiswa terkait dengan tindakan hukuman (punishment) yang diberikan kepada siswa
yang melanggar aturan. Terkadang hukuman (punishment)
tersebut sering disalahartikan berbeda oleh orang tua siswa sebagai tindakan penganiayaan
terhadap anak. dengan mengusung undang-undang perlindungan anak (UUPA) No. 23
Tahun 2002 Pasal 16, ayat (1) dimana
berbunyi:
Setiap anak
berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Sebagai
contoh yang terjadi di kota Jambi, seorang guru SMPN berinisial AG dinyatakan
bersalah dan dituntut hukuman penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan
enam bulan, karena menampar siswanya yang tertangkap menonton film porno di
telepon genggamnya pada saat jam pelajaran.
Tindakan
penamparan yang dilakukan AG, menurut UUPA dikategorikan sebagai penganiayaan,
penyiksaan dan perbuatan yang tidak manusiawi. Kalau
kita perhatikan baik-baik, hukuman (punishment) berupa penamparan yang dilakukan
guru terhadap muridnya semata-mata dalam rangka mendidik akhlak siswa
tersebut. Siswa tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap norma kesusilaan
dan norma moral. Apakah arif orangtua melaporkan guru
yang dengan ikhlas ingin memperbaiki moral anaknya malah dilaporkan ke polisi?
Apakah pantas orang tua mendapati anaknya menonton video mesum malah memberikan
dukungan kepada anaknya?.
Apa yang
dilakukan guru AG tersebut tidaklah 100% salah, karena dalam PP No. 74 Tahun
2008 pasal 39 ayat 1, guru berhak dan diberikan kebebasan dalam rangka
memberikan sanksi kepada siswa yang telah melanggar norma dan aturan yang
berlaku. Hal ini berarti, guru mempunyai wewenang dalam mendisiplinkan siswa
yang melanggar. Guru mempunyai tugas untuk memperbaiki akhlak atau pribadi
siswa yang dianggap telah melanggar norma dan aturan yang ada. Disini tugas
guru sebagai pendidik lebih ditekankan. Namun tugas tersebut terganjal dengan
adanya UUPA yang ditetapkan oleh KPAI. Guru menjadi cemas dan takut, jika
hukuman (punishment) yang akan
diberikan kepada siswa yang melanggar justru akan membawa mereka ke dalam kasus
hukum yang bisa memenjarakan mereka. Kecemasan yang ada dalam diri guru
dirasakan sangat wajar dan beralasan. Kata-kata ‘penjara’ saja sudah sangat
menakutkan, apalagi ditambah dengan pembayaran uang denda yang nilainya sekitar
puluhan juta rupiah, belum lagi sanksi kode etik yang akan diberikan oleh pihak
sekolah atau lembaga organisasi tempat guru tersebut bernaung, yang lebih
parahnya pemberhentian tugasnya sebagai guru. Begitu berlapis-lapisnya akibat
yang ditanggung dari kasus tersebut. Posisi ini yang menambah beban berat bagi
guru. Sehingga kebanyakan guru tinggal diam, tidak memberikan hukuman (punishment), akibatnya terjadi proses
pembiaran.
Sebenarnya
guru tidak perlu takut ataupun cemas dalam memberikan hukuman (punishment) kepada siswa, karena
pemberian hukuman (punishment) kepada
siswa yang melanggar diatur dalam peraturan pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008
ayat 1. Namun, guru juga perlu mengetahui ada batasan-batasan yang perlu
diperhatikan guru ketika akan memberikan hukuman (punishment) kepada siswa. Sebagaiman yang tertera pada PP No. 74
Tahun 2008 pasal 39 ayat 2, dimana menyatakan bahwa sanksi (hukuman) yang
diberikan kepada siswa bisa berupa teguran dan/atau peringatan, baik dalam
lisan ataupun tulisan, atau bisa berupa hukuman lain yang bersifat mendidik
sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan
perundang-undangan. Jadi, bebas disini bukan berarti guru bisa seenaknya saja
memberikan hukuman (punishment), tapi
harus mengikuti aturan yang ada, tidak melanggar kode etik sebagai guru, dan
yang terpenting sesuai dengan kaedah pendidikan kita sekarang, dimana
pendidikan kita sekarang lebih berfokus pada pembentukan karakter.
Seorang guru perlu mengetahui, memahami dan mencari
bentuk hukuman (punishment) seperti
apa yang cocok diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya,
sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuat siswa, hukuman (punishment) yang menekankan pada penyadaran
dan efek jera yang tidak memberikan traumatis dan tidak mengganggu perkembangan
psikologis siswa. Dengan memahami pengetahuan tersebut, mengurangi resiko guru
yang terlibat kasus hukum sehingga guru dapat menjalankan tugasnya sebagai pengajar
dan pendidik dengan leluasa tanpa perlu dirasuki kecemasan dan ketakutan.
B. Definisi Hukuman (Punishment) dalam
pendidikan
Menurut Ngalim Purwanto, punishment
adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh
pendidik (guru) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan
(Purwanto, 1955:186). Hukuman juga dapat diartikan pemberian sesuatu yang tidak
menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Pemberian
hukuman akan membuat seseorang menjadi kapok dan tidak akan mengulangi yang
serupa lagi. Menurut Echols dalam Rasimin, punishment merupakan siksaan atas
perilaku yang telah diperbuat. Secara harfiah, hukuman dapat diartikan sebagai
pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa
yang diharapkan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan ada tiga
macam bentuk hukuman:
1.
Siksa yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang.
2.
Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.
3.
Hasil atau akibat menghukum.
Guru yang baik adalah mereka
yang mampu menguasai kelas hingga terciptanya suasana pembelajaran yang
menyenangkan. Dalam mewujudkannya, guru haruslah menjadi orang yang berwibawa,
kharismatik, menguasai materi pelajaran dan mampu memahami psikologis anak. Ia
harus disiplin, tak membuat kesalahan, mengetahui dan mampu menjawab atas
setiap masalah yang dialami anak didik. Peran guru sangat berpengaruh terhadap
perkembangan anak, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun
kegiatan-kegiatan yang menunjang prestasi. Proses pembelajaran akan berjalan
baik bila ditopang dengan beberapa hal, termasuk di dalamnya tata tertib siswa
di sekolah sebagai tatanan, etika, dan norma yang harus dijunjung tinggi untuk
mensukseskan tujuan pembelajaran diantaranya adalah penerapan punishment.
Dalam
proses pembelajaran, punishment harus menjadi reinforcement (penguatan)
bagi anak agar tidak mengulangi kembali atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Dorongan negatif akan memberikan efek yang baik untuk tidak mengulang
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat anak. Pemberian hukuman akan membuat
anak menjadi kapok (jera), artinya sebuah upaya pendidik (guru) dalam
memberikan sanksi agar anak tidak akan melakukan kesalahan yang serupa lagi.
Sekalipun setelah diberi ulasan agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan
tertentu, sebagian anak masih saja ada yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Pemberian punishment
mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebagai reinforcement
(penguatan) demi tercapainya kemandirian belajar, membangkitkan perasaan
dan tanggung jawab anak. Dalam membangkitkan motivasi anak tidaklah mudah, guru
perlu mengetahui secara mendalam tentang kondisi psikologis anak dan memiliki
kreativitas untuk menghubungkan materi pelajaran dengan kebutuhan dan minat
anak (Nasution, 2000:78). Adapun kriteria pemberian hukuman yang diberikan
pendidik (guru) dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menciptakan
kedisiplinan anak didik agar anak didik belajar dengan baik;
2. Untuk
melindungi anak didik dari perbuatan yang tidak wajar;
3. Untuk menakuti si
pelanggar, agar meninggalkan perbuatannya yang melanggar itu. (Ahmadi,
2001:151).
Dalam
proses pembelajaran, hukuman merupakan salah satu metode untuk mencapai tujuan
pendidikan sehingga pemberian hukuman harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yaitu untuk membangkitkan
kesadaran yang timbul dari dalam diri anak terhadap kesalahan yang telah
diperbuatnya, sehingga
berusaha bertobat dan menyadari tentang kesalahan yang telah diperbuatnya.
C. Bentuk-Bentuk
Punishment
Bentuk punishment yang
masih relevan bagi anak, sesuai dengan tingkat perkembangannya, antara lain :
a. Pandangan
Sinis, Peringatan dan Ancaman
Konsistensi
pemberian punishment bentuk ini akan memunculkan kesadaran dalam diri
anak. Anak tidak akan menganggap punishment sebagai bentuk pendektean
yang mempersempit otonomi dan pribadinya. Anak pada masa ini akan merombak dan
bersikap berontak terhadap semua yang dirasa mengurangi dan mempersempit
kebebasannya. Pemberian hukuman dalam bentuk ini harus diimbangi dengan
penjelasan atau rasionalitas si pemberi hukuman (guru) serta perlu adanya
tindak lanjut (follow up) sebagai wujud perhatian pendidik (guru) pada
anak. Penjelasan alasan pemberian punishment
yang logis dan pendekatan secara persuasif dengan anak dapat memberikan
penguatan dan motivasi agar tidak terjadi kesalahan yang berulang. Dengan
begitu, secara perlahan mereka akan menyadari kesalahan-kesalahan yang
diperbuat dan berusaha menuju perbaikan.
b. Pemberian
Alfa
Pada
masa ini, anak sudah mampu menghargai kejujuran, kedisiplinan, keadilan,
sehingga untuk periodesasi ini pemberian sanksi alfa mampu meresap dan dihayati
dalam jiwa anak. Sanksi ―alfa‖
berhubungan dengan penerimaan diri anak oleh masyarakat lingkungan sosialnya,
akan kebutuhan harga diri anak, sekalipun masih ada beberapa anak yang tetap
keras dan hanya mempan dengan hukuman fisik. Pemberian sanksi ini lebih
menekankan pada pemahaman secara rasional tanpa melibatkan fisik, yaitu seorang
anak harus
mampu menilai sejauh mana
pentingnya kehadiran suatu materi pelajaran bagi pencapaian prestasi dan kebutuhan
hidupnya di masa mendatang.
c. Membersihkan
Kelas
Membersihkan
kelas merupakan pemberikan punishment yang mendidik bagi anak untuk
belajar tentang mahalnya sebuah kesehatan. Hal ini juga sesuai dengan
nilai-nilai Islami, yaitu kebersihan adalah sebagian iman.
Dalam pemberian hukuman,
pendidik (guru) harus mampu menghindari sejauh mungkin hal-hal yang akan
berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis anak. Beberapa jenis hukuman
yang harus diketahui oleh pendidik (guru) adalah sebagai berikut:
1) Hukuman
membalas dendam: orang yang merasa tidak senang karena anak berbuat salah, anak
lalu dihukum.
2) Hukuman
badan/jasmani: hukuman ini memberi akibat yang merugikan anak, karena bahkan
dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi anak.
3) Hukuman
jeruk manis (sinaas appel): menurut tokoh yang mengemukakan teori hukuman
ini, Jan Ligthart, anak yang nakal tidak perlu dihukum, tetapi didekati dan
diambil hatinya.
4) Hukuman
alam: dikemukakan oleh J.J. Rousseau dari aliran Naturalisme, berpendapat,
kalau ada anak yang nakal, jangan dihukum, biarlah kapok/jera dengan sendirinya
(Ahmadi, 2001:157).
Setiap
sekolah memiliki peraturan yang harus ditaati bersama, baik kepala sekolah,
staf administrasi, pendidik (guru) maupun anak didik, dan semua yang terlibat
dalam proses pembelajaran (lingkungan sekolah). Aturan tersebut dapat berupa
tata tertib sekolah, misalnya aturan tentang keharusan masuk kelas tepat waktu,
mematikan HP waktu di kelas, kedisiplinan dalam mengerjakan tugas individu
maupun kelompok.
Bentuk
hukuman diberikan kepada anak sesuai dengan kesalahan atau pelanggaran yang
diperbuatnya. Hukuman
atau punishment dipakai sebagai upaya peningkatan kedisiplinan diri,
memotivasi belajar dan perbaikan perilaku. Pemberian
punishment tidak
sebatas pada menjatuhkan hukuman pada anak karena suatu kesalahan, perlawanan
atau pelanggaran, melainkan juga untuk peningkatan kedisiplinan anak,
memotivasi belajar dan perbaikan perilaku (moralitas). Jadi, maksud metode punishment
dalam pembelajaran sebenarnya sebagai bentuk penguatan negatif yang
diberikan kepada anak untuk perbaikan dan penghindaran perilaku menyimpang
secara sosial atau peningkatan kedisiplinan serta sebagai stimulus pembangkit
semangat motivasi belajar. Dalam praktiknya, pemberian punishment setidaknya
memperhatikan dua hal berikut:
1. Berkaitan
dengan pelanggaran atas tindakan yang menyimpang dari norma sosial atau
perbaikan tingkah laku dari tindakan amoral yang dilakukan di masyarakat
sebagai proses interaksi antara anak dengan lingkungan masyarakat, maka punishment
diberikan secara langsung oleh pendidik (guru), BK dan pihak sekolah.
2. Berkaitan
dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) merupakan wilayah jaringan paedagogis
pendidik (guru), yang didalamnya ia bertindak mendidik atau mengajar anak.
Dalam pencapaian tujuan untuk membentuk anak yang berakhlakul karimah dan
diimbangi dengan kualitas intelektual yang mumpuni, maka semua pendidik (guru)
dalam menggunakan metode ini dalam rangka mengarahkan perubahan perilaku ke
arah yang lebih baik serta peningkatan kedisilpinan anak serta sebagai
motivator yang menjadikan anak belajar, karena pada intinya setiap pendidik
(guru) adalah BK bagi setiap anak didik.
Pemberian
punishment sering diinterpretasikan secara berbeda bagi anak. Punishment yang
ada lebih menggugah minat diri untuk tetap disiplin dan sebagai bentuk imbalan
untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama atau bertindak yang tidak disetujui
secara sosial, dan juga bisa sebagai salah satu bentuk motivasi untuk belajar.
Sebagai upaya menjembatani adanya persepsi yang berbeda terhadap punishment,
baik antara pendidik (guru) versus pendidik (guru), pendidik (guru) versus
anak didik, dan anak didik versus anak didik, maka ada beberapa hal yang
dijadikan pijakan sebagai prinsip dalam pemberian punishment, antara
lain:
1. Punishment
harus disesuaikan dengan permasalahan dan kondisi anak.
2. Besar
kecilnya pelanggaran serta perbedaan individual mempengaruhi bentuk punishment
yang diberikan anak.
3. Hukuman
yang diberikan bersifat konsisten. Hal ini dimaksudkan agar anak mengetahui
bahwa kapan saja peraturan itu dilanggar, hukuman itu tidak dapat dihindarkan.
4.
Hukuman harus diimbangi dengan
penjelasan dari sang pemberi hukuman.
Anak memiliki persepsi yang
berbeda terhadap pendidik (guru) serta penerimaan yang berbeda pula, sehingga
sering dijumpai pendidik (guru) dengan metode pembelajaran yang sama, akan
mendapat respon yang berbeda dari anak yang sama pula. Pendidik (guru) dalam
memberikan punishment harus menjelaskan kesalahan anak agar bisa
diterima dan berhasil dalam tugas edukatifnya. Demikian halnya dalam pemberian
hukuman, kewibawaan dan keseriusan pendidik (guru) ikut berperan dalam
menentukan efektivitas hukuman yang diberikan. Dalam hal ini, bentuk hukuman
yang diberikan harus bersifat impersonal, sehingga anak tidak
menginterpretasikan sebagai ―kejahatan‖
si pemberi hukuman, serta ada tindak lanjut dari setiap pemberian hukuman dan follow
up berkaitan dengan pemberian pengertian dan penjelasan tentang wujud
hukuman serta alasan mengapa hukuman diberikan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengembalikan kepercayaan diri anak didik dan menghilangkan rasa dendam dalam
diri anak.
D. Perlindungan
Hukum Guru
Guru dalam menjalankan fungsinya
sebagai pengajar dan pendidik rentan dengan kasus hukum yang terjadi, baik itu
yang terjadi di luar proses pembelajaran ataupun yang terjadi selama proses
pembelajaran. Maraknya kasus pidana yang melibatkan guru dengan peserta didik,
menambahkan terjepitnya posisi guru. Kasus-kasus pidana yang melibatkan guru
dengan peserta didik selalu berujung pada divonisnya guru sebagai orang yang
bersalah yang harus mendapatkan hukuman berupa kurungan dan denda. Kebanyakan
kasus yang terjadi memvonis guru melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa
sebagai akibat dari pemberian hukuman (punishment)
yang diberikan dalam rangka mendisiplinkan siswa.
Seringkali terlupakan adalah alasan hukuman (punishment) yang dilakukan guru. Belum
tentu tindakan guru murni kesalahan yang dilakukan oleh guru. Dunia pendidikan mengenal adanya pemberian
penghargaan (reward) dan hukuman (punishment), sebagai salah satu alat
pendidikan Pemberian hukuman (punishment)
kepada siswa yang melanggar bertujuan untuk mendidik siswa tersebut. Hukuman
yang diberikan bisa dalam bentuk teguran lisan ataupun tertulis, bisa juga
dalam bentuk hukuman lain yang bersifat mendidik, memberikan efek jera untuk
tidak mengulanginya. Tujuannya adalah agar siswa tahu akan norma dan aturan
yang berlaku,
Penerapan
disiplin siswa, terganjal dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan
dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses
pendidikan. Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka
menegakkan kedisiplinan, maka secara spontan orang tua dan masyarakat
mengkategorikannya sebagai tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, tidak
manusiawi yang melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian
melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Hukuman (punishment) yang diberikan guru kepada
siswa, oleh orang tua diartikan sama dengan tindakan kekerasan, penganiayaan,
penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi. Hal ini yang menyebabkan eksistensi
guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.
Perlu adanya kejelasan persepsi tentang tindak kekerasan dengan hukuman (punishment). Kejadian ini juga menadakan
lemahnya payung hukum yang melindungi guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pengajar dan pendidik.
Pemerintah
sebenarnya tidak tinggal diam, melalui UU No. 14 tahun 2005 pasal 39 dan
PP No. 74 tahun 2008 pasal 40 guru memiliki hak perlindungan dari rasa aman dan
jaminan keselamatan melalui perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan hukum yang dimaksud
yaitu perlindungan dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif,
intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari peserta didik, orang tua peserta
didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain. Jadi, secara hukum guru bisa
menggunakan haknya jika sewaktu-waktu guru berada dalam posisi yang terkait
dengan masalah hukum. Namun kode etik guru tetap dijunjung tinggi. Jika
ternyata memang guru melakukan pelanggaran,
berlaku semena-mena terhadap siswa meskipun dengan alasan mendidik,
seyogyanya guru harus menerima sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan..
Perlindungan hukum bagi guru
bisa didapatkan dari organisasi profesi dimana guru tersebut bernaung, dalam
hal ini Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI telah mengusahakan
perlindungan bagi guru, beberapa diantaranya adalah dengan dibentuknya Dewan
Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). DKGI merupakan badan kehormatan yang bisa memberikan sanksi kepada guru yang terbukti melakukan
pelanggaran dalam kegiatan kependidikan. Ketika guru terkait dengan kasus
hukum, dewan kehormatan yang akan memprosesnya, sebelum sampai ke penegak
hukum. Sesuai dengan
kode etik guru Indonesia disebutkan semua pelanggaran guru yang berhubungan dengan
profesi guru baik di dalam kelas, lingkungan sekolah, yang masih ada hubungan
dengan guru dan murid maka harus dilaporkan kepada DKGI. Sebab segala hal yang
menyangkut profesi guru tidak serta merta bisa dibawa ke ranah hukum.
Selain
itu, PGRI juga melakukan MoU dengan pihak kepolisian, dalam hal ini Polri. Inti dari MoU tersebut adalah dalam menjalankan profesi guru jangan ragu menyalahi hak asasi manusia,
karena selama itu dalam konteks menjalankan profesi maka tidak serta merta bisa
diseret ke ranah hukum, seperti yang dilansir dalam media cetak. Guru tidak
usah takut dengan pelanggaran HAM dalam menjalankan profesinya, kalau terjadi
sesuatu tidak serta merta berhadapan dengan hukum tapi harus dilaporkan kepada
DKGI. Sehingga dapat disatukan persepsi
mana yang ditangani dewan kehormatan dan mana yang harus ditangani sampai ke
penegak hukum. Kesemuanya dilakukan dalam rangka untuk melindungi guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik serta memberikan rasa aman
dan nyaman dalam setiap melaksanakan tugas guna mencapai tujuan pendidikan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberian hukuman (punishment) yang diberikan guru terhadap
siswa yang melanggar diatur dalam PP No. 74 tahun 2008 pasal 39, guru diberikan
kebebasan dalam hal memberikan hukuman (punishment)
kepada siswa. Bebas disni bukan berarti guru bisa seenaknya saja memberikan hukuman (punishment), tapi harus disertai
dengan penjelasan sebagai bentuk penguatan kepada siswa, tidak melukai yang
menyebabkan cacat fisik, bersifat mendidik,
mengikuti aturan yang ada, tidak melanggar kode etik sebagai guru, dan yang
terpenting sesuai dengan kaedah pendidikan kita sekarang, dimana pendidikan
kita sekarang lebih berfokus pada pembentukan karakter. Guru sebagai pengajar sekaligus pendidik perlu mengetahui hukuman (punishment) mana yang cocok diberikan
kepada siswa yang melanggar, sesuai dengan tingkat perkembangannya, tingkat
kesalahan yang diperbuat, sehingga menimbulkan penyadaran dan efek jera bagi
siswa yang melanggar.
Maraknya guru yang divonis
penjara akibat tersangkut kasus pemberian hukuman (punishment) kepada siswa yang melanggar, menambah tersudutnya
posisi guru di mata masyarakat. Pemerintah melakukan upaya semaksimal mungkin
untuk memberikan perlindungan bagi guru dengan menetapkan UU
No. 14 tahun 2005 pasal 39 dan PP No. 74 tahun 2008 pasal 40. Upaya ini bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum, perlindungan profesi dan perlindungan keselamatan dan kesehatan guru,
sehingga guru merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan fungsinya sebagai pengajar sekaligus pendidik. Selain itu, perlindungan bagi guru bisa
juga didapat dari organisasi profesi
yaitu PGRI. Guru yang terkait kasus hukum tidak serta-merta langsung diproses
oleh penegak hukum. Semua pelanggaran
guru yang berhubungan dengan profesi guru baik di dalam kelas, lingkungan
sekolah, yang masih ada hubungan dengan guru dan murid dilaporkan kepada Dewan Kehormatan
Guru
Indonesia
(DKGI). Sehingga dapat disatukan persepsi mana yang ditangani dewan
kehormatan dan mana yang harus ditangani sampai ke penegak hukum.
B. Saran
Guru yang
memiliki fungsi sebagai pendidik, perlu mengetahui, memahami dan memilih bentuk
hukuman (punishment) mana yang sesuai
dengan tingkat kesalahan yang diperbuat, yang menimbulkan penyadaran, efek jera
dan tidak memberikan dampak psikologis bagi perkembangan anak. Hal ini sebagai
rambu-rambu bagi guru dalam memberikan hukuman (punishment) kepada siswa yang melakukan pelanggaran.
Orang tua siswa, terkait dengan
kasus yang melibatkan anaknya dengan guru, perlu mencermati duduk permasalahan
yang terjadi. Orang tua diharapkan tidak gegabah dalam mengambil keputusan
dengan membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Ada lembaga yang mengawasi setiap
pelanggaran yang berhubungan dengan kode etik guru, yaitu Dewan Kehormatan Guru
Indonesia (DKGI). Orang tua dapat melaporkan terlebih dahulu kasus tersebut ke
DKGI untuk diproses lebih lanjut.
Pemerintah perlu mengkaji ulang
persepsi hukuman (punishment) dengan
tindak kekerasan, penganiayaan, penyiksaan ataupun tindakan tidak manusiawi yang
disuarakan oleh KPAI. Persepsi pengertian hukuman (punishment) adalah sebagai bentuk mendidik, penyadaran siswa yang
bertujuan untuk tidak mengulangi perbuatan yang melanggar norma dan aturan,
bukan bertujuan untuk menganiaya, menyiksa ataupun melakukan kekerasan yang
sifatnya untuk balas dendam atau yang lain.
Kesalahan persepsi ini lebih banyak berdampak kepada guru. Guru terkesan
melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya, sehingga keamanan dan
kenyamanan guru terganggu. Perlindungan terhadap guru perlu diperhatikan,
dikarenakan guru merupakan salah satu tokoh yang berjasa dalam memajukan
bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu.
1997. Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT
Rineka Cipta.
IKAPI.
2009. Undang-Undang Guru dan Dosen.
Bandung: Fokusmedia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2002. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Nasution. 2000. Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Purwanto,
Ngalim.1997.
Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Rasimin. Konstekstualisasi
Metode Reward dan Punishment. Salatiga:
Susanto, Andrian. 2012. UU
Perlindungan Anak: Derita Guru. http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/08/uu-perlindungan-anak-derita-guru-501624.html.
Diakses 12 November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar